PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Secara historis pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan di Indonesia sangat terkaitan erat dengan kegiatan dakwah islamiah.
Pendidikan Islam berperan sebagai mediator dalam memasyarakatkan ajaran Islam
kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikanlah masyarakat
Islam dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan
ketentuan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah. Seiring dengan itu tingkat pemahaman,
penghayatan dan pengamalan masyarakat terhadap ajaran agama Islam sangat
tergantung pada kualitas pendidikan Islam yang diterimanya.
Pendidikan Islam di Indonesia seringkali dihadapkan
pada berbagai problematika yang tidak ringan. Sebagai sebuah sistem pendidikan
Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu dan lainnya saling
berkaitan. Komponen pendidikan tersebut meliputi visi, misi, landasan, tujuan,
kurikulum, konpentensi dan profesionalisme guru, metodologi pembelajaran,
sarana dan prasarana, pengelolaan (manajemen), pembiayaan, serta evaluasi dan
lain sebagainya.
Berbagai komponen yang terdapat dalam pendidikan ini
sering kali berjalan apa adanya, alami dan tradisional serta dilakukan tanpa
perencanaan tanpa konsep yang matang, akibatnya mutu pendidikan Islam sering
kali menunjukkan keadaan yang kurang menggembirakan.
Pimpinan
lembaga pendidikan Islam (LPI) harus mendesain format pendidikan yang
kompetitif dan inovatif untuk keperluan masa depan, hanya dengan kesiapan
manajemen pendidikan yang efektif, lembaga pendidikan Islam dapat merespon
perubahan sehingga tidak akan mengalami stagnasi
(kemacetan) dan ketinggalan dalam dinamika perubahan cepat.[1]
Tujuan pendidikan Islam sering kali hanya diarahkan
untuk menghasilkan manusia yang hanya menguasai ilmu agama saja, akibatnya
lulusan pendidikan Islam hanya memiliki peluang dan kesempatan yang terbatas,
yaitu sebagai pengawal moral bangsa, mereka kurang mampu bersaing merebut
peluang dan kesempatan yang tersedia dalam memasuki lapangan kerja, sehingga
lulusan pendidikan Islam semakin termarginalisasi dan tak berdaya. Keadaan yang
demikian harus segera diatasi, lebih-lebih lagi jika dihubungkan dengan adanya
persaingan yang kian kompentitif (bersaing ketat) pada era teknologi dan
globalisasi.
Aceh
merupakan Provinsi yang paling ujung barat Indonesia yang berbatasan dengan
Sumatra Utara, Aceh sejak dulu dikenal dengan julukan Serambi Mekkah karena
penduduknya 90% lebih adalah menganut agama Islam dan mempunyai tradisi pemahaman agama yang kuat.
Aceh
adalah daerah pertama masuknya Islam di Asia Tenggara, tepatnya di Peureulak
Aceh Timur pada tanggal 1 Muharram 225 H. Sejak itu silih berganti kesultanan
Islam berkuasa di Aceh, walau demikian spirit keislaman masyarakat Aceh tidak
bisa ditawar-tawar, seorang antropolog Belanda B. J. Boland mengatakan “menjadi
orang Aceh identik dengan menjadi
muslim”.[2]
Cita-cita
penerapan Syari‘at Islam di Aceh tidak akan berhasil jika minimnya dukungan
dari ranah pendidikan, Sebab karakter seorang manusia sesungguhnya sangat
ditentukan dan dibentuk berdasarkan latar pendidikan yang ditempuhnya. Maka, jika
kita ingin penerapan Syari‘at Islam memasuki semua sendi kehidupan bangsa Aceh
sehingga potensi-potensi pelanggaran bisa ditekan seminimal mungkin, partisipasi
maksimal semua stakeholder pendidikan
suatu hal sangat urgen.
Sesuai Amanat Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA) tahun 2006, Agama Islam diharapkan akan menjadi acuan
pada setiap aspek pembangunan mulai dari pembinaan politik, penciptaan
keamanan, penguatan pertahanan, ketertiban pada sampai pembangunan ekonomi,
hukum dan sosial budaya. Disamping pembangunan agama yang diharapkan menjadi landasan
ideal agama kedepan, totalitas pembangunan juga harus memiliki ruh Agama.[3]
Rencana
pembangunan juga termasuk lembaga seperti dayah, maka sudah seharusnya
menyesuaikan program pengembangan dayah untuk masa akan datang. penyesuaiannya
mulai tujuan dari pendidikan dayah, mau menjadi apa setelah mereka menamatkan
pendidikan di dayah, penyesuaian ini juga membutuhkan rekayasa kurikulum
sehingga akan menghasilkan alumnus-alumnus Dayah seperti yang kita harapkan.[4]
Alumnus-alumnus dayah yang ideal adalah mereka dapat bersaing dan berperan
dalam berbagai lapisan masyarakat baik pada tingkat regional, nasional maupun
ditingkat internasional.
Beranjak hal
yang berlatar tersebut, mengingat dayah selama ini terjadi marginalisasi, baik
marginalisasi fungsional, dimana dayah terkesan masih sangat tradisional maupun
marjinalisasi struktural, dimana dayah masih kurang mendapat perhatian dari
pemerintah. Karena dayah sudah lama sekali dilupakan oleh berbagai pihak, tentu
banyak hal yang harus diberi perhatian dan ini butuh waktu yang lama, kerana masalah
yang dihadapi juga lumayan banyak baik faktor internal mereka sendiri maupun faktor
eksternal.
Oleh
karenanya pemerintahan mencoba memberi perhatian lebih banyak kepada pendidikan
dayah di Aceh. Pihak legislatif dan eksekutif sepakat
untuk melakukan pembinaan dayah secara lebih serius. Karenanya, timbul
inisiatif mendirikan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Aceh (BPPD) yang dimaksudkan dapat berperan untuk pembinaan meningkatkan kualitas
pendidikan dayah.
Setelah
sebelumnya program-program pemberdayaan Dayah di bawah dinas pendidikan Aceh dianggap tidak
memadai, Pemerintah Aceh kemudian membentuk badan
pembinaan dayah baru yang diberi nama Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh. Dengan kehadiran Badan
Pembinaan Pendidikan Dayah ini diharapkan agar mampu mengangkat daya saing Dayah
dari lembaga pendidikan lain baik di tingkat
daerah, nasional, maupun di level internasional.
Badan pembinaan dan pendidikan dayah
adalah badan baru di Aceh bahkan di Indonesia, karena badan ini hanya ada di
Aceh dan dibentuk berdasarkan Qanun No. 5 Tahun 2007 tentang susunan
organisasi, dan tata kerja dinas, lembaga teknis lembaga daerah dan lembaga
daerah Provinsi Aceh.
Kehadiran lembaga ini disambut dengan sangat senang oleh teungku-teungku pimpinan dayah.
Secara umum, tujuan pemerintah dan para ulama mendirikan BPPD
adalah untuk pemberdayaan dayah secara maksimal, dari aspek administrasi, kualitas,
manajemen maupun dana. Jika demikian, seharusnya dengan adanya BPPD maka
dayah-dayah di Aceh akan semakin kuat bidang dana, administrasi, manajemen
maupun secara kualitas.
Namun pada realitasnya sekarang pemberdayaan dayah oleh pemerintah yang dirasakan
masih jauh dari yang diharapankan oleh masyarakat dayah.
Dengan
adanya intervensi Pemerintah daerah, maka aksesibilitas masyarakat secara
otomatis berkurang. Satu sisi pemerintah Aceh telah membuka peluang untuk meningkatkan sumber
daya manusia di dayah dan
menambah
sarana prasarana melalui APBA.
Pada sisi lain, pemerintah Aceh tidak
memperhatikan kebutuhan (need)
masyarakat sekitar dayah
dalam
membangun dayah, dimana support peningkatan kualitas sumber daya manusia di dayah masih sebatas dalam bentuk pelatihan
dan workshop singkat, tidak
ditunjang oleh regulasi partisipasi
masyarakat
dalam memajukan pendidikan
di dayah.[5]
Dampak jangka panjang dari kebijakan Pemda terhadap
dayah adalah hilangnya sikap sosial dari masyarakat dalam membantu eksistensi
proses belajar mengajar pada sebuah dayah. Masyarakat tidak peduli dengan
sistem yang di implementasikan pendidikan dayah, karena dayah telah menjadi
wilayah birokrasi pemerintah daerah. Dengan adanya intervensi pemda terhadap
dayah, terkesan adanya sebuah pembatas antara dayah dan masyarakat, karena
harus bersikap birokratis dan formalitas.[6]
Berdasarkan ulasan masalah tersebut di atas, maka penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam, dengan ini penulis melakukan sebuah
penelitian lebih lanjut dengan mengangkat judul penelitian “Peran Badan Pembinaan
Pendidikan Dayah Provinsi Aceh dalam Pemberdayaan Dayah”. Penelitian ini diharapkan dapat lebih memberikan motivasi kepada Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Provinsi (BPPD) Aceh dalam memberi pembinaan untuk regenerasi pemuda-pemuda Islam
ke depan menjadi penerus harapan bangsa dan agama yang rahmatan lil‘alamin.
Penelitian ini juga di harapkan dapat menambah khasanah keilmuan, baik bagi
penulis maupun bagi sidang pembaca secara keseluruhan.
B. Rumusan Masalah
Beranjak
dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peran Badan
Pembinaan Pendidikan Dayah Provinsi Aceh dalam pemberdayaan Dayah?
2. Bagaimanakah langkah-langkah
Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Provinsi Aceh terhadap pemberdayaan Dayah?
3. Apa saja hambatan
Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Provinsi Aceh dalam upaya pemberdayaan Dayah?
C. Tujuan Penelitian
Setiap segala sesuatu bentuk pekerjaan dan
perbuatan kita dalam sehari-hari di permukaan bumi ini
pasti mempunyai maksud dan tujuan
tertentu, tidak terkecuali halnya dengan penelitian ini. Oleh karena itu maka
tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui
bagaimanakah Peran Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Provinsi Aceh dalam upaya
pemberdayaan Dayah.
2. Untuk mengetahui
bagaimana langkah-langkah Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Provinsi Aceh dalam
Pemberdayaan Dayah.
3. Untuk Mengetahui Apa
saja yang menjadi hambatan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Provinsi Aceh dalam
Pemberdayaan Dayah.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan
latarbelakang masalah di atas, maka adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sebuah kontribusi positif bagi Pemerintah Daerah
Provinsi Aceh di bawah lembaga Badan Pembinaan Pendidikan Dayah dalam menentukan
kebijakan atau perannya terhadap kemajuan dan pemberdayaan pendidikan Dayah.
2. Dapat menjadi tolok
ukur dan bahan evaluasi lembaga BPPD Aceh sendiri dalam mengelola dan membawa
pendidikan Dayah Aceh ke arah yang lebih baik dan maju di masa yang akan datang.
3. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menambah wawasan dan pengetahuaan para sidang pembaca, terutama kepada
penulis sendiri.
4. Sebagai khasanah
keilmuaan, menambah koleksi litelatur bacaan di perpustakaan, dapat menjadi pengembangan
ilmu pngetahuan dan salah satu bahan rujukan penelitian terkait kepada peneliti
selanjutnya.
E. Tinjauan
Pustaka
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “peran”
diartikan sebagai tingkah yang diharapkan dimiliki
oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.[7] Peran atau peranan sesuatu yang menjadi bagian yang memegang
pimpinan terutama dalam terjadinya suatu hal atau peristiwa.[8] Peran
adalah perilaku yang sesuai dengan status seseorang juga merupakan seperangkat
perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki suatu posisi atau
kedudukan tertentu dalam masyarakat.[9]
Peran yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah tingkah
atau seperangkat perilaku yang diterapkan atau cara yang diberikan oleh pihak
Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Aceh dalam meningkatkan pemberdayaan dayah di Aceh secara menyeluruh, baik dari segi santrinya, guru atau
teungku, kurikulum, administrasi, fasilitas pembangunan bangunan, dan juga dari
segi dananya sehingga
dayah mempunyai kekuatan dan diharapkan pada nantinya dayah dapat bersaing
serta berperan secara luas di era globalisasi yang kian kompentitif (bersaing).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia makna “pemberdayaan” diartikan sebagai proses, cara, perbuatan
memberdayakan.[10] Pemberdayaan
berasal dari kata daya yang
menjadi
kata berdaya artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, berdaya
artinya memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat sesuatu menjadi berdaya
atau mempunyai daya atau mempunyai kekuatan.
Pemberdayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
upaya BPPD Aceh dalam membuat, memberi daya atau kekuatan kepada lembaga
pendidikan dayah agar pada nantinya dayah yang telah di beri daya atau kekuatan
tadi menjadi lebih berdaya dan mempunyai kekuatan untuk bertahan ketika tidak
adanya support lagi dari pihak BPPD
maupun pihak lainnya.
Badan Pembinaan Pendidikan Dayah
Aceh (BPPD) adalah perangkat daerah sebagai unsur pendukung Pemerintahan Aceh
di bidang pembinaan pendidikan Dayah dan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah di
pimpin oleh seorang kepala badan yang berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada Gubernur melalui Sekda.[11]
Badan ini bekerja secara maksimal
untuk meningkatkan mutu dan kualitas dayah, badan ini akan membantu dayah-dayah
di Aceh sesuai kebutuhan dayah setempat, baik prasarana, kurikulum dayah, membantu
merubah menejemen dayah dan peningkatan kualitas santri serta memberdayakan
dayah sesuai dengan letak geografis dayah, untuk dayah yang dekat dengan pantai
akan diberdayakan sektor perikanan, untuk dayah yang letaknya di daerah
pegunungan akan diberdayakan sektor pertanian dan perkebunan, kesemuanya
dilakukan untuk menciptakan kemandirian ekonomi dayah.
Pesantren mempunyai arti, asrama tempat
santri atau tempat murid-murid belajar mengaji.[12] Pesantren
adalah asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji dan menuntut ilmu, terutama
yang berkaitan dengan agama Islam.[13]
Pendidikan dayah di Jawa dikenal dengan nama pesantren, di Padang disebut surau, dan di Malaysia dan Pattani
(Thailand) disebut pondok. Kata dayah juga sering diucapkan deyah oleh sebagian masyarakat Aceh
Besar, kata deyah diambil dari bahasa
Arab asal kata zawiyah. Istilah zawiyah yang secara literal Arab
bermakna sudut, yang diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk
Masjid Madinah ketika Nabi Muhammad mengajar para shahabat pada masa awal
Islam.[14]
Dayah di Aceh adalah sebuah lembaga pendidikan Islam
yang dianggap sama namun memiliki sedikit perbedaannya, yakni pesantren
menerima anak-anak semenjak sekolah dasar (alif
ba ta), sementara Dayah hanya menerima orang dewasa saja, yaitu yang telah
menyelesaikan sekolah dasar, mampu membaca Al-Qur‘an dan menulis bahasa Arab.[15]
Pengertian
Dayah yang maksud di sini adalah Dayah tempat belajar Agama bagi orang-orang
yang telah dewasa saja, minimal sudah tamatan sekolah dasar (SD), muridnya ada
santri juga santriwati dan ciri khas dayah di sini mempunyai pondok tempat
pengajian, dan pondok tempat penginapan yang semua guru dan santrinya menetap
dipondok tersebut.
F. Metode
Penelitian
1.
Metode
yang digunakan
Metode
merupakan suatu cara untuk mencapai suatu tujuan. Metode adalah cara atau jalan sehubungan upaya ilmiah, maka metode merupakan cara kerja untuk memahami objek penelitian. Sehingga
metode merupakan salah
satu faktor yang
terpenting dan menentukan
dalam penelitian.
Metode
penelitian ilmiah adalah
cara
kerja yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian.[16]
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi
ini bersifat deskriptif kualitatif
yaitu “Suatu metode pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang yang meliputi
pencatatan, penafsiran, penguraian dan penganalisaan terhadap data yang ada”.[17]
Metode penelitian kualitatif adalah
prosedur penelitian yang
menghasilkan
data deskriptif atau penggambaran berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan prilaku-prilaku yang dapat diamati.[18]
2.
Jenis
Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
penelitian kepustakaan (library research)
dan penelitian lapangan (field research).
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian pustaka (Library Research) adalah kegiatan menghimpunan
data dari berbagai litelatur, baik diperpustakaan maupun di tempat-tempat lain.
Lilelatur yang dipergunakan tidak hanya terbatas pada buku-buku, tetapi dapat
juga berupa bahan-bahan dokumentasi, majalah, koran dan lain-lain, dari litelatur
tersebut dapat ditemukan berbagai teori, hukum, dalil, prinsip-prinsip,
pendapat, gagasan-gagasan, dan lain-lain.[19]
Penelitian kepustakaan suatu penelitian yang dilakukan dengan
cara membaca dan mencari informasi dari berbagai referensi yang berkaitan
dengan penulisan skripsi ini, seperti buku-buku, kitab,
majalah, dan karya ilmiah lainnya. Informasi yang didapatkan akan dijadikan sebagai bahan pendukung dan penguat analisa yang
diperoleh dari penelitian lapangan.
b. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan (Field Research) adalah kegiatan
penelitian yang dilakukan dilingkungan masyarakat, baik di lembaga-lembaga, dan
kemasyarakatan sosial, maupun lembaga pemerintahan.[20]
Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian lapangan ini
dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.
Dalam hal ini penulis melakukan
penelitian di sebuah lembaga pemerintahan daerah yaitu pada Badan Pembinaan
Pendidikan Dayah Provinsi Aceh, pada selanjutnya peneliti ingin menggali
informasi-informasi kemudian menganalisis.
3.
Lokasi
Penelitian.
Lokasi
penelitian yang penulis dilakukan adalah, di salah satu kantor
lembaga Pemerintahan Provinsi Aceh, yaitu pada Badan Pembinaan Pendidikan Dayah
(BPPD) Provinsi Aceh, yang beralamat di JL. Twk.
Hasyim Banta Muda, No. 04 Gampong Mulia kota Banda Aceh.
Penulis tertarik melakukan penelitian
di Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) provinsi Aceh tersebut dengan dasar
pertimbangan atau alasan-alasan sebagai berikut:
1)
Badan Pembinaan
Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh merupakan lembaga pembinaan pendidikan Islam di bawah Pemda Aceh yang
diemban tugas sebagai lembaga pemberi solusi terhadap berbagai permasalahan
Dayah yang timbul.
2)
Sebagai masyarakat Aceh yang pernah mengecap
pendidikan Agama di Dayah, Penulis merasa prihatin dan terpanggil dengan
melihat kian komplitnya permasalahan dunia pendidikan Dayah, terutama
menyangkut keberdayaan pendidikan dayah. Maka penulis melakukan penelitian ini
ingin mengetahui secara lebih mendalam upaya pemberdayaan Dayah yang dilakukan
oleh badan pembinaan pendidikan dayah Aceh selama ini.
3)
Dari
hasil pengamatan dan penelusuran penulis bahwa masih kurangnya bahan bacaan dan
para peneliti yang meneliti pada Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Aceh ini, khususnya
mengenai perannya selama ini. Maka penulis menarik untuk melakukan penelitian.
4.
Teknik
Pengumpulan Data.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan data primer
dan data sekunder. Data primer merupakan data yang di dapat dari sumber
utamanya, baik dari individu (Perorangan) atau sekelompok orang yang didapat
berdasarkan hasil observasi dan wawancara, sedangkan data
sekunder adalah data yang didapat dari beberapa literatur atau tulisan-tulisan,
baik dalam bentuk buku-buku, majalah dan dokumen lainnya.[21]
Data sekunder juga dapat berupa data
diperoleh melalui (informan) orang yang dianggap mempunyai informasi penting tentang suatu objek penelitian.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a.
Observasi
Observasi adalah kegiatan mengamati
secara langsung tanpa mediator suatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan
yang dilakukan objek tersebut.[22]
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu
pengamatan terhadap keadaan atau prilaku objek sasaran.[23] Dalam penelitian ini penulis telah mengadakan pengamatan langsung
terhadap objek yang diteliti, yaitu Badan Pembinaan
Pendidikan Dayah (BPPD) Provinsi Aceh yang
beralamat di JL. Twk. Hasyim Banta Muda, No. 04 Gampong Mulia kota Banda Aceh.
b.
Wawancara
Wawancara atau interview
adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan yang
berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang mewawancarai
dan jawaban diberikan oleh pihak yang diwawancara.[24]
Metode
wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penanya atau pewawancara dengan penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).[25]
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penanya atau pewawancara dengan penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).[25]
Interview (wawancara) dibedakan dalam dua
macam, yaitu (1) responden dan (2) informan. Responden adalah sumber data
primer, data tentang dirinya sendiri sebagai objek sasaran penelitian,
sedangkan informan ialah sumber data sekunder, data dari pihak lain tentang
responden. Informan hendaknya di pilih dari pihak yang banyak mengetahui atau
mengenal keadaan responden.[26]
Dalam hal ini
peneliti mengadakan wawancara langsung dengan pihak
responden (data primer) yaitu yang terdiri dari; Kepala
Badan Pembinaan Pendidikan Dayah
Provinsi Aceh, Kepala bidang pemberdayaan santri,
Kepala bidang pembinaan sumber daya manusia, Kepala bidang manajemen dan
pengasuhan, Kepala bidang program dan pelaporan.
Kemudian dengan pihak informan (data sekunder) penulis mengadakan
wawancara dengan dua orang yang dianggap banyak mengetahui mengenai peran badan
dayah Aceh yaitu; Tgk. Faisal Ali yang merupakan Sekjen Himpunan Ulama Dayah
Aceh (HUDA), dan Tgk. T. Zulkhairi, MA yang merupakan alumni dayah dan aktifis
pemerhati pendidikan dayah yang sangat aktif menulis dimedia cetak maupun di
media elektronik, menganai masukan dan kritikan kontruktif kebijakan pemerintah
terhadap kemajuan dan keberdayaan pendidikan dayah.
Dari dua sumber informan tersebut diharapkan dapat mengumpulkan informasi-informasi
atau data-data penting tentang pemberdayaan dayah oleh badan dayah (BPPD) Provinsi
Aceh, agar dapat lebih menguatkan hasil penelitian ini.
c.
Studi
Dokumentasi
Teknik
ini adalah cara mengumpul data yang dilakukan dengan katagorisasi dan
klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan masalah penelitian, baik dari
sumber dokumen, maupun
buku-buku, koran, majalah dan lain-lain.[27]
Dokumentasi merupakan cacatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental.[28] Peneliti menggunakan metode ini untuk mengumpulkan data dalam penelitian yang berbentuk dokumen-dokumen untuk memperoleh
berbagai keterangan atau informasi yang diperoleh, termasuk catatan-catatan
penting pelaksanaan peran badan pembinaan pendidikan dayah dalam pemberdayaan dayah .
5.
Teknik
Analisis Data.
Analisis data merupakan
upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil wawancara, observasi
dan yang lainnya untuk meningkatkan pemahaman tentang objek dan menyajikan sebagai temuan bagi orang lain.[29]
Jenis analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif
yang bersifat deskristif-analitik,
maksudnya menjabarkan dan menganalisis segala fenomena yang terjadi dari hasil
penelitian yang diperoleh.
G. Sistematika
Penulisan
Pembahasan
dalam skripsi ini terdiri dari atas empat bab, dan dalam pembahasannya antara
satu dengan bab yang lainnya mempunyai keterkaitan atau hubungan yang tidak terpisahkan
satu sama yang lainnya. Adapun deskriptif pembahasan dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
Bab satu pendahuluan, dalam bab pertama
penulis ingin menguraikan tentang latar
belakang masalah
penelitian, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan yang terakhir adalah mengenai sistematika dalam penulisannya.
Bab
dua, pada bab ini menguraikan tentang
landasan teoritis, yaitu yang berisikan tentang pengertian pemberdayaan,
membahas urgensi pemberdayaan dayah, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pemberdayaan dayah, strategi pemberdayaan dayah, arah ideal pemberdayaan dayah pada era
modern, peran dayah terhadap penyebaran dakwah, kebijakan pemerintah Aceh
terhadap pendidikan dayah.
Bab ketiga, dalam bab ini membahas gambaran umum lokasi penelitian
yaitu meliputi; letak geografis, sejarah dan
profil Badan Pembinaan Pendidikan Dayah, visi
misi Badan Pembinaan Pendidikan Dayah, dan
struktur organisasi Badan Pembinaan Pendidikan Dayah. Kemudian pembahasan peran Badan Pembinaan Pendidikan Dayah provinsi Aceh
dalam upaya pemberdayaan dayah, langkah-langkah Badan Pembinaan Pendidikan
Dayah Provinsi Aceh dalam pemberdayaan dayah, hambatan-hambatan
Badan Pembinaan Pendidikan Dayah provinsi Aceh dalam Pemberdayaan dayah.
Bab
empat, adalah bab terakhir dari
keseluruhan penulisan skripsi ini yang di penulis muatkan beberapa kesimpulan-kesimpulan
yang diambil dari pengupasan bab pertama
sampai bab ketiga. Kemudian penulis
juga mengajukan beberapa rekomendasi atau saran-saran yang dianggap relevan dengan
dunia pendidikan dayah, sebagai bahan masukan bagi sidang pembaca dan khususnya
dapat menjadi sebuah kontribusi positif serta landasan pemerintah daerah terhadap
penentuan arah kebijakan pemerintah, demi kemajuan pendidikan dayah di masa
akan datang.
[2]Safwan Idris, Syari‘at Islam di Aceh; Reaktulisasi
Sejarah dalam Memasuki Millenium Ketiga Menuju Masyarakat Madani, (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry, 1999).
[3]M. Hasbi
Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh,
(Banda Aceh; Yayasan PeNA, 2008), Hal. 133.
[4]M. Hasbi
Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh,
(Banda Aceh: Yayasan Pena, 2008), hal. 135.
[5]Mukhlisuddin Ilyas, Pendidikan
Dayah di Aceh; Mulai Hilang Identitas, (Yokjakarta: Pale Indonesia Media,
2012), hal. 108-109.
[6]Mukhlisuddin
Ilyas, Pendidikan Dayah di Aceh; Mulai
Hilang Identitas, (Yokjakarta: Pale Indonesia Media, 2012), hal. 97.
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cetakan Ke III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),
hal. 854.
[10]Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2003), hal. 242.
[11]Qanun Aceh Nomor 5 tahun 2007,
Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan
Lembaga Daerah Provinsi Aceh, Pasal 164, Ayat 1 dan 2.
[12]Tim Penyusun Kamus Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Ed.3, 2003), hal. 854.
[13]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), hal. 884.
[14]Hasbi Amiruddin, Menatap
Masa Depan Dayah di Aceh, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2008), hal. 41.
[15]Hasbi Amiruddin, Menatap
Masa Depan Dayah di Aceh, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2008), hal. 43.
[16]Abdurrahmat Fathoni, Metodologi
Penelitian dan Tehnik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal.
99.
[19]Hadari Nawawi, Metode
Penelitian Bidang Sosial, (Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2005),
hal. 30.
[20]Hadari Nawawi, Metode
Penelitian Bidang Sosial, (Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2005),
hal 31.
[23]Abdurrahmat Fathoni, Metodologi
Penelitian dan Tehnik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal.104.
[26]Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian dan
Tehnik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 105.
[27]Nawawi, dan H. Hadari, Metode
Penelitian Bidang Sosial, (Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2005),
hal. 95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar