CONTOH ANALISIS MANAJEMEN KONFLIK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3
TAHUN 1997 TENTANG
PENGADILAN ANAK
A.
Pengantar
Untuk menangani
tersangka/terdakwanya anak-anak, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
telah membentuk peraturan tentang itu, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak yang disahkan pada tanggal 3 Januari 1997, dimuat dalam
Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 3 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3668.
Undang-undang ini diberlakukan satu tahun setelah diundangkan, yakni mulai
berlaku pada tanggal 3 Januari 1998.
Apa yang
menjadi latar belakang lahirnya Undang-Undang pengadilan anak, dalam
konsiderannya antara lain menyebutkan:
·
Bahwa anak adalah
bagian dari generasi muda salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi
dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam
rangka pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, social secara utuh, serasi,
selaras dan seimbang.
·
Bahwa untuk
melaksanakan pembinaan danmemberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan
dukunan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih
mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraaan
pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.
Latar belakang diatas adalah sejalan
dengan pendapat pemerintah di dalam keterangannya dihadapan Rapat Peripurna
Dewan Perwakilan Rakyat ketika rancangan undang-undang tersebut masih dalam
tahap pembahasan, bahwa dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan
dan tingkah laku penyimpangan dilakukan anak-anak sekali-sekali tidak boleh
melupakan kedudukan anak dengan segala karakternya yang khusus, dan perlu
diwujudkan adanya suatu peradilan yang benar-benar memperhatikan kepentingan
anak.
Penyimpangan dan tingkah laku atau
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang
cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang
tua, telah membawa perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat yang sangat
berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Dengan melihat latar belakang lahirnya
Undang-undang pengadilan anak tersebut, tampak bahwa sesungguhnya kita hendak
mewujudkan sebuah penanganan terhadap perkara anak yang terlibat tiindak pidana
yang lebih baik daripada yang terdahulu, dan penanganannya memperhtikan
kepentingan anak, sehingga anak yang terkena kasus tidak dirugikan secara fisik
maupun mentalnya.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1997 pengadilan
negeri seluruh provinsi mencatat sebanyak 4.000 tersangka berusia 16 tahun yang
diajukan melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP Anak).
Kita sering mendengar bahwa hasil pengadilan mengecewakan dan kita
tidak melihat suatu perlakuan yang positif dan bermanfaat SPP Anak. Meskipun
sudah ada berbagai perangkat hukum, tampaknya tidak cukup membawa perubahan
berarti bagi nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka mendapat perlakuan yang
buruk bahkan kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan terhadap orang dewasa
pada suatu situasi yang sama.
B.
Masalah
Yang Dihadapi
Di Indonesia, hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur di
dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang
mengatur tentang pemeriksaan terhadap anak yang harus dilaksanakan dalam
suasana kekeluargaan. Setiap anak berhak didampingi oleh penasihat hukum.
Tempat tahanan anak harus terpisah dari tahanan orang dewasa. Dalam
Undang-undang juga disebutkan bahwa penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anakdan atau kepentingan masyarakat. Hukuman yang
diberikan tidak harus di penjara atau tahanan melainkan dapat berupa hukuman
tindakan dengan mengembalikan anak ke orangtua atau wali.
Undang-Undang ini dimaksudkan untuk melindungi dan
mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat menyongsong masa
depannya yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui
pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,
bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa,
dan negara. Namun dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai obyek, dan
perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak.
Selain itu Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensip memberikan perlindungan
khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu adanya perubahan
paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum antara lain
didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara
lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan
kesejahteraan Anak serta memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang
berhadapan dengan hukum.
Sedangkan Pasal 37 ayat b KHA yang berbunyi “Tidak seorang anak
pun akan dirampas kemerdekaannya secara tidak sah dan sewenang-wenang.
Penangkapan, penahanan, atau penghukuman seorang anak harus sesuai dengan
hukum, akan diterapkan sebagai upaya terakhir (last resort), dan untuk
jangka waktu yang paling pendek”. Dalam Pasal 37 ayat c KHA dinyatakan “Setiap
anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi, dihormati
martabat kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak
seusianya”.
Namun kita sering mendengar bahwa hasil pengadilan mengecewakan
dan kita tidak melihat suatu perlakuan yang positif dan bermanfaat SPP Anak.
Meskipun sudah ada berbagai perangkat hukum, tampaknya tidak cukup membawa
perubahan berarti bagi nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Beberapa
studi menunjukkan bahwa mereka mendapat perlakuan yang buruk bahkan
kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan terhadap orang dewasa pada suatu
situasi yang sama.
C.
Implementasi
Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka mendapat
perlakuan yang buruk bahkan kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan terhadap
orang dewasa pada suatu situasi yang sama. Perlakuan buruk ini tidak hanya
terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) namun
tindak kekerasan terhadap mereka sering dialami sejak berada di kantor polisi
yang berupa tamparan, tendangan, bahkan kadang-kadang pelecehan seksual.
Penyidikan di kantor polisi ini sebenarnya dalam
rangkapenyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Namun, kekerasan sering
menjadi bagian dari upaya untuk memperoleh pengakuan. Bentuk
kekerasan lain berupa tindakan memaksa anak untuk membersihkan kantor polisi
dan mobil patroli. Rutan atau Lapas memberikan
pengaruh buruk terhadap anak-anak di samping hak mendapat pendidikan baginya
terabaikan.
Selain itu, menurut menteri pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak ibu Linda Gumelar mengatakan
“ undang-undang lama banyak melanggar hak anak. Seperti menempatkan
mereka di tahanan orang dewasa sehingga rawan terjadi tindak kekerasan”. Data
Departemen Hukum dan HAM menyebutkan, hingga Februari 2011 tercatat 57 persen
dari 4.767 anak ditahan dilembaga pemastarakatan atau rumah tahanan untuk orang
dewasa. Pada 2008 lalu ada 5.630 anak dan 6.308 pada 2010.
Hal serupa tidak hanya ada di negara berkembang
seperti Indonesia tetapi juga dialami di negara maju. Kini dipikirkan berbagai
upaya alternatif sejalan dengan prinsip yang tercantum dalam KHA, yaitu prinsip
“The Best Interest of The Child” dan pidana sebagai “The Last Resort”.
Hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Pasal 40 KHA yang berbunyi
“Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh, atau
diakui telah melanggar undang-undang hukum pidana diperlakukan dengan cara yang
sesuai dengan peningkatan martabat dan harga dirianak, memperkuat penghargaan
anak pada hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain, dengan
mempertimbangkan usia anak dan hasrat negara untuk meningkatkan reintegrasi
anak dan peningkatan perannya yang konstruktif dalam masyarakat”.
D.
Solusi
Terlepas dari alasan-alasan tersebut, ternyata judex
factie telah salah menerapkan peraturan hukum/tidak menerapkan sebagaimana
mestinya, karena judex factie telah menerapkan penjatuhan pidana terhadap
Terdakwa yang masih berumur 14 tahun ini sama dengan terhadap orang dewasa,
sedangkan berdasarkan Pasal 26 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 penjatuhan
pidana terhadap anak nakal paling lama ½ dari maximum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa, serta secara acontrario dapat ditafsir pula paling lama ½
dari minimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Oleh karena Terdakwa masih begitu muda belum mengetahui
baik buruknya perbuatan yang dilakukannya tersebut dan supaya pemidanaan tidak
mempengaruhi pendidikannya masa mendatang, maka perlu hanya dilakukan tindakan
terhadap Terdakwa tersebut berupa pengembalian pada orang tua untuk dapat
dilakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih terarah (Pasal 24 (1)
Undang-Undang No.3 Tahun 1997).
Jadi, atas dasar perundang-undangan tersebut, upaya-upaya yang
seharusnya dilakukan pada anak-anak yang berkonflik dengan hukum adalah upaya
diversi dan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Diversi adalah pengalihan cara penanganan kasus-kasus anak yang
diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa
syarat kepada suatu proses informal. Namun, sampai saat ini belum ada dasar
hukum yang khusus untukdiversi sehingga polisi menggunakan aturan hukum
diskresi untuk melaksanakan diversi.
Keadilan restoratif adalah proses yang melibatkan semua pihak
dalam memecahkan masalah secara bersama-sama dan menangani akibat suatu tindak
pidana di masa yang akan datang. Hal ini perlu diperhatikan dalam menangani
anak yang berkonflik dengan hukum agar tujuan keadilan restoratif tercapai.
Upaya-upaya keadilan restoratif bertujuan menghindarkan anak dari penahanan dan
pelabelananak sebagai penjahat, terulangnya pelanggaran tindak pidana, dan anak
bertanggung jawab atas perbuatannya.
Intervensi bagi pelaku tidak perlu melalui proses formal sehingga
anak terhindar dari proses sistem peradilan. Bila anak terpaksaharus menjalani
proses pengadilan sebaiknya anak dijauhkan dari pengaruh dan implikasi negatif.
Bentuk keadilan restoratif tersebut akan mendorong anak untuk bertanggung jawab
atas perbuatannya. Selain itu anak mendapat kesempatan mengganti kesalahan dengan
berbuat baik pada si korban dan memeliharahubungan dengan keluarga korban. Pada
akhirnya anak diberi kesempatan untuk rekonsiliasi dan penyembuhan dalam
masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidananya.
Upaya keadilan restoratif sebenarnya sudah diawali sejak tahun
1970 di Ontario dan di beberapa negara lain. Evaluasi program tersebut
memuaskan baik dalam hal partisipasi si korban, kerugian yang ditimbulkan,
mengurangi ketakutan korban, dan akhirnya juga mengurangi perilaku kriminal
oleh yang bersangkutan. Pelaksanaan upaya ini masih harus diperjuangkan di
Indonesia.
Bila seorang anak dilaporkan melakukan pelanggaran pidana, yang
perlu dilakukan adalah mengupayakan penelaahan yang baik oleh beberapa pihak
dan profesi agar anak mendapatkan diversi.
Bila diversi tidak memungkinkan sekurang-kurangnya dilakukan
diskresi.Dalam persoalan anak yang berkonflik dengan hukum, kita harus
mengupayakan keadilan restoratif. Sedangkan dalam pencegahan pelanggaran pidana
pada anak dan remaja hendaknya kita mengacu pada “Pedoman Riyadh”, yaitu
Pedoman PBB bagi Pencegahan Kenakalan Remaja (1990).
Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa pencegahan kenakalan
remaja memerlukan upaya segenap masyarakat agar mereka dapat berkembang secara
harmonis dalam menumbuhkan kepribadiannya sejak usia dini sampai masa remaja.
Upaya pencegahan kenakalan remaja dapat dilakukan melalui pendidikan
nilai-nilai dasar budaya dan sosial negaranya untuk mengembangkan kemanusiaan
dan peradaban.
Sumber : Riznal Akhyar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar