Thursday, April 03, 2014

CONTOH ANALISIS MANAJEMEN KONFLIK

CONTOH ANALISIS MANAJEMEN KONFLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3
TAHUN 1997  TENTANG PENGADILAN ANAK
A.   Pengantar
Untuk menangani tersangka/terdakwanya anak-anak, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk peraturan tentang itu, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang disahkan pada tanggal 3 Januari 1997, dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 3 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3668. Undang-undang ini diberlakukan satu tahun setelah diundangkan, yakni mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1998.
Apa yang menjadi latar belakang lahirnya Undang-Undang pengadilan anak, dalam konsiderannya antara lain menyebutkan:
·         Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, social secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
·         Bahwa untuk melaksanakan pembinaan danmemberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukunan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraaan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.
Latar belakang diatas adalah sejalan dengan pendapat pemerintah di dalam keterangannya dihadapan Rapat Peripurna Dewan Perwakilan Rakyat ketika rancangan undang-undang tersebut masih dalam tahap pembahasan, bahwa dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku penyimpangan dilakukan anak-anak sekali-sekali tidak boleh melupakan kedudukan anak dengan segala karakternya yang khusus, dan perlu diwujudkan adanya suatu peradilan yang benar-benar memperhatikan kepentingan anak.
Penyimpangan dan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Dengan melihat latar belakang lahirnya Undang-undang pengadilan anak tersebut, tampak bahwa sesungguhnya kita hendak mewujudkan sebuah penanganan terhadap perkara anak yang terlibat tiindak pidana yang lebih baik daripada yang terdahulu, dan penanganannya memperhtikan kepentingan anak, sehingga anak yang terkena kasus tidak dirugikan secara fisik maupun mentalnya.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1997 pengadilan negeri seluruh provinsi mencatat sebanyak 4.000 tersangka berusia 16 tahun yang diajukan melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Anak (SPP Anak).
Kita sering mendengar bahwa hasil pengadilan mengecewakan dan kita tidak melihat suatu perlakuan yang positif dan bermanfaat SPP Anak. Meskipun sudah ada berbagai perangkat hukum, tampaknya tidak cukup membawa perubahan berarti bagi nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka mendapat perlakuan yang buruk bahkan kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan terhadap orang dewasa pada suatu situasi yang sama.


B.   Masalah Yang Dihadapi
Di Indonesia, hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur di dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang mengatur tentang pemeriksaan terhadap anak yang harus dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan. Setiap anak berhak didampingi oleh penasihat hukum. Tempat tahanan anak harus terpisah dari tahanan orang dewasa. Dalam Undang-undang juga disebutkan bahwa penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anakdan atau kepentingan masyarakat. Hukuman yang diberikan tidak harus di penjara atau tahanan melainkan dapat berupa hukuman tindakan dengan mengembalikan anak ke orangtua atau wali.
Undang-Undang ini dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai obyek, dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak. Selain itu Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensip memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.
Sedangkan Pasal 37 ayat b KHA yang berbunyi “Tidak seorang anak pun akan dirampas kemerdekaannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau penghukuman seorang anak harus sesuai dengan hukum, akan diterapkan sebagai upaya terakhir (last resort), dan untuk jangka waktu yang paling pendek”. Dalam Pasal 37 ayat c KHA dinyatakan “Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi, dihormati martabat kemanusiaannya, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak seusianya”.
Namun kita sering mendengar bahwa hasil pengadilan mengecewakan dan kita tidak melihat suatu perlakuan yang positif dan bermanfaat SPP Anak. Meskipun sudah ada berbagai perangkat hukum, tampaknya tidak cukup membawa perubahan berarti bagi nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka mendapat perlakuan yang buruk bahkan kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan terhadap orang dewasa pada suatu situasi yang sama.



C.   Implementasi
Beberapa studi menunjukkan bahwa mereka mendapat perlakuan yang buruk bahkan kadang-kadang lebih buruk dari perlakuan terhadap orang dewasa pada suatu situasi yang sama. Perlakuan buruk ini tidak hanya terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) namun tindak kekerasan terhadap mereka sering dialami sejak berada di kantor polisi yang berupa tamparan, tendangan, bahkan kadang-kadang pelecehan seksual.
Penyidikan di kantor polisi ini sebenarnya dalam rangkapenyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Namun, kekerasan sering menjadi bagian dari upaya untuk memperoleh pengakuan. Bentuk kekerasan lain berupa tindakan memaksa anak untuk membersihkan kantor polisi dan mobil patroli. Rutan atau Lapas memberikan pengaruh buruk terhadap anak-anak di samping hak mendapat pendidikan baginya terabaikan.
Selain itu, menurut menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ibu Linda Gumelar mengatakan  “ undang-undang lama banyak melanggar hak anak. Seperti menempatkan mereka di tahanan orang dewasa sehingga rawan terjadi tindak kekerasan”. Data Departemen Hukum dan HAM menyebutkan, hingga Februari 2011 tercatat 57 persen dari 4.767 anak ditahan dilembaga pemastarakatan atau rumah tahanan untuk orang dewasa. Pada 2008 lalu ada 5.630 anak dan 6.308 pada 2010.
Hal serupa tidak hanya ada di negara berkembang seperti Indonesia tetapi juga dialami di negara maju. Kini dipikirkan berbagai upaya alternatif sejalan dengan prinsip yang tercantum dalam KHA, yaitu prinsip “The Best Interest of The Child” dan pidana sebagai “The Last Resort”. Hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Pasal 40 KHA yang berbunyi “Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh, atau diakui telah melanggar undang-undang hukum pidana diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan martabat dan harga dirianak, memperkuat penghargaan anak pada hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain, dengan mempertimbangkan usia anak dan hasrat negara untuk meningkatkan reintegrasi anak dan peningkatan perannya yang konstruktif dalam masyarakat”.

D.   Solusi
Terlepas dari alasan-alasan tersebut, ternyata judex factie telah salah menerapkan peraturan hukum/tidak menerapkan sebagaimana mestinya, karena judex factie telah menerapkan penjatuhan pidana terhadap Terdakwa yang masih berumur 14 tahun ini sama dengan terhadap orang dewasa, sedangkan berdasarkan Pasal 26 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 penjatuhan pidana terhadap anak nakal paling lama ½ dari maximum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, serta secara acontrario dapat ditafsir pula paling lama ½ dari minimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Oleh karena Terdakwa masih begitu muda belum mengetahui baik buruknya perbuatan yang dilakukannya tersebut dan supaya pemidanaan tidak mempengaruhi pendidikannya masa mendatang, maka perlu hanya dilakukan tindakan terhadap Terdakwa tersebut berupa pengembalian pada orang tua untuk dapat dilakukan pengawasan dan pembinaan yang lebih terarah (Pasal 24 (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997).
Jadi, atas dasar perundang-undangan tersebut, upaya-upaya yang seharusnya dilakukan pada anak-anak yang berkonflik dengan hukum adalah upaya diversi dan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Diversi adalah pengalihan cara penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat kepada suatu proses informal. Namun, sampai saat ini belum ada dasar hukum yang khusus untukdiversi sehingga polisi menggunakan aturan hukum diskresi untuk melaksanakan diversi.
Keadilan restoratif adalah proses yang melibatkan semua pihak dalam memecahkan masalah secara bersama-sama dan menangani akibat suatu tindak pidana di masa yang akan datang. Hal ini perlu diperhatikan dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum agar tujuan keadilan restoratif tercapai. Upaya-upaya keadilan restoratif bertujuan menghindarkan anak dari penahanan dan pelabelananak sebagai penjahat, terulangnya pelanggaran tindak pidana, dan anak bertanggung jawab atas perbuatannya.
Intervensi bagi pelaku tidak perlu melalui proses formal sehingga anak terhindar dari proses sistem peradilan. Bila anak terpaksaharus menjalani proses pengadilan sebaiknya anak dijauhkan dari pengaruh dan implikasi negatif. Bentuk keadilan restoratif tersebut akan mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Selain itu anak mendapat kesempatan mengganti kesalahan dengan berbuat baik pada si korban dan memeliharahubungan dengan keluarga korban. Pada akhirnya anak diberi kesempatan untuk rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidananya.
Upaya keadilan restoratif sebenarnya sudah diawali sejak tahun 1970 di Ontario dan di beberapa negara lain. Evaluasi program tersebut memuaskan baik dalam hal partisipasi si korban, kerugian yang ditimbulkan, mengurangi ketakutan korban, dan akhirnya juga mengurangi perilaku kriminal oleh yang bersangkutan. Pelaksanaan upaya ini masih harus diperjuangkan di Indonesia.
Bila seorang anak dilaporkan melakukan pelanggaran pidana, yang perlu dilakukan adalah mengupayakan penelaahan yang baik oleh beberapa pihak dan profesi agar anak mendapatkan diversi.
Bila diversi tidak memungkinkan sekurang-kurangnya dilakukan diskresi.Dalam persoalan anak yang berkonflik dengan hukum, kita harus mengupayakan keadilan restoratif. Sedangkan dalam pencegahan pelanggaran pidana pada anak dan remaja hendaknya kita mengacu pada “Pedoman Riyadh”, yaitu Pedoman PBB bagi Pencegahan Kenakalan Remaja (1990).
Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa pencegahan kenakalan remaja memerlukan upaya segenap masyarakat agar mereka dapat berkembang secara harmonis dalam menumbuhkan kepribadiannya sejak usia dini sampai masa remaja. Upaya pencegahan kenakalan remaja dapat dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai dasar budaya dan sosial negaranya untuk mengembangkan kemanusiaan dan peradaban.  

Sumber : Riznal Akhyar

No comments: