UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
Pendahuluan
Teror dan terorisme
adalah dua kata yang hampir sejenis yang dalam satu dekade ini menjadi sangat
populer, atau tepatnya sejak peristiwa runtuhnya WTC (World Trade Center)
tanggal 9 September 2001 yang lalu. Jika kita memasukan kata terorisme pada
mesin pencari di internet, maka kita akan mendapati ribuan bahkan jutaan
hasilnya, dengan segala latar belakang, pembelaan, tuduhan, perkembangan, dan
lain-lainnya
Terorisme merupakan
tindak pidana yang sangat menakutkan bagi warga masyarakat dunia maupun
masyarakat Indonesia. Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 wajib melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu Negara berkewajiban untuk melindungi
seluruh warga negaranya dari setiap ancaman
Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 merupakan kebijakan Legislatif dalam upaya menanggulangi tindak
pidana terorisme di Indonesia dan juga melawan terorisme internasional yang
kemungkinan terjadi di Indonesia.
Sebagai bagian dari
fenomena sosial, terorisme jelas berkembang seiring dengan perkembangan
peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan
ketakutan juga semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Proses
globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme.
Kemudahan menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan liputan media yang
luas membuat jaringan dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuan.
Saat ini, motif
terorisme lebih sering dikaitkan dengan dimensi moral yang luas seperti nilai,
ideologi, agama, ketidakadilan tatanan dan struktur sosial. Namun tidak
dipungkiri, bahwa sekarang ini, Islam diidentifikasikan sedemikian rupa sebagai
agama yang mengusung terorisme. Perkembangan Islam, baik secara institusi atau
pun individualnya, telah mengkhawatirkan dunia internasional sedemikian rupa
tanpa alasan yang jelas sama sekali.
Stigma Islam yang
melahirkan kekerasan terus dimunculkan setiap hari di berbagai belahan dunia.
Hingga umat pun perlahan-lahan mulai percaya bahwa Islam mengusung kekerasan
seperti itu, padahal tak sedikitpun agama islam menganjurkan kekerasan. Dalam
berperang, Islam telah mengajarkan syarat dan ketentuan seperti tidak
sembarangan boleh membunuh, tidak boleh merusak pepohonan, tidak boleh
berlebihan, dan sebagainya.
Seperti berita
perburuan teroris di Pamulang dan Aceh. Dimana teroris di Aceh sekarang ini
telah menjadi perbincangan hangat. Di media massa seperti koran, televisi dan
lain-lain memuat berita tersebut. Teroris di Aceh ini diduga kuat adalah
jaringan Al Qaeda. Seperti yang di katakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
seakan ingin memastikan, keberadaan pemimpin teroris di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam bukanlah asli orang Aceh. Presiden juga merasa yakin, apa yang
terjadi di Aceh diindikasikan ada unsur terorisnya.
Padahal belum lepas
dari ingatan kita, berita terorisme terkait dengan kejadian bom di Hotel Ritz
Carlton dan JW Marriott pada tanggal 17 Juli 2009 yang lalu tidak hanya membuat
sibuk pengamat sosial, politik, keamanan dan budaya tetapi juga para insan
olahraga karena tim kesayangannya, klub sepakbola kelas dunia MU (Manchester
United) gagal ‘merumput’ di Gelora Bung Karno. Sejak kejadian WTC 9 September
itu, dunia pun mulai menyatakan perang terhadap teroris, Say No to Teroris.
Slogan-slogan tersebut terus dijejalkan pada masyarakat dan tak lama kemudian
dimulailah ‘operasi pembersihan’ di negara-negara yang dituduh sebagai ‘pabrik’
teroris, seperti Irak dan Afganistan (yang mana keduanya merupakan negara
muslim). Meskipun pada perkembangan selanjutnya, banyak para ahli yang mulai
curiga bahwa ada yang salah dalam cerita tragedi kemanusiaan itu namun masih
lebih banyak yang tidak mau mencermati sejarah sehingga dengan mudah mereka
menggunakan istilah teroris dan mengaitkannya dengan gerakan Islam radikal,
militan, fundamentalis, atau garis keras seperti halnya yang digembar-gemborkan
pihak Barat.
Lebih jelasnya Kejahatan
terorisme juga telah terjadi di Indonesia dan juga telah memakan korban orang
yang tidak berdosa baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga negara
asing. Aksi peledakan bom bunuh diri pada tanggal 12 Oktober 2002 di Legian,
Kuta, Bali yang menewaskan kurang lebih 184 orang dan ratusan orang lainya luka
berat dan ringan dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat,
Jerman, Inggris dan lain-lain. Aksi-aksi lain dengan menggunakan bom juga
banyak terjadi di Indonesia seperti di Pertokoan Atrium Senen Jakarta,
peledakan bom di Gedung Bursa Efek Jakarta, peledakan bom restoran cepat saji
Mc Donald Makassar, peledakan bom di Hotel J W Mariot Jakarta, peledakan bom di
Kedutaan Besar Filipina dan dekat Kedutaan Besar Australia, serta beberapa
kejadian peledakan bom di daerah konflik seperti Poso, Aceh dan Maluku yang
kesemuanya itu menimbulkan rasa takut dan tidak tentram bagi masyarakat. Akibat
aksi pengeboman tersebut disamping runtuhnya bangunan dan sarananya, juga telah
menyebabkan timbulnya rasa takut bagi orang Indonesia maupun orang asing. Dalam
kancah internasional menyebabkan turunnya rasa kepercayaan dunia internasional
kepada sektor keamanan di Indonesia, menurunnya sektor pariwisata karena adanya
pengakuan bahwa di Indonesia memang benar ada teroris.
Pada pembukaan Undang
Undang Dasar 1945 tersirat bahwa pemerintah Repubik Indonesia memiliki
kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan baik
bersifat nasional maupun internasional dan berkewajiban untuk mempertahankan
kedaulatan negara serta memulihkan keutuhan dan integritas nasional dari
ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri4. Tindak pidana terorisme
yang selama ini terjadi telah mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat,
serta telah menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan Negara sehingga perlu
dilakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme guna memelihara
kehidupan yang aman, damai dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945.
Masalah
Yang Dihadapi
Peran Pemerintah dan
masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah menunjukan
keberhasilan yang cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk
menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme.
Tragedi ledakan bom
belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, yang
bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk
dilacak. Namun pada aplikasinya mereka yang memang memiliki “concern” atau
perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-manusia, was-was
kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar HAM
dan kebebasan sipil.
Dengan ramainya berita
para teroris yang berhasil ditembak dan ditewaskan oleh Densus 88 dan aparat
kepolisian, banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa kaum teroris itu mesti
dibunuh, bukan kah itu melanggar HAM. Bukankah keputusan mereka sebagai teroris
haruslah ditentukan oleh pengadilan, bukankah dia tak bisa disebut sebagai
teroris apabila belum ada keputusan dari pengadilan, dan Paling jauh dia hanya
bisa disebut sebagai tersangka.
Inilah jadi pokok
permasalahan, dimana para teroris di bunuh hal ini juga dapat kita lihat pada
peristiwa penyergapan
Saifuddin Jaelani, Syahrir, Ibrohim, Nurdin M Top dll, mereka semua tewas
ketika di bekuk oleh densus 88 ataupun oleh pihak kepolisian.
Implementasi
Dalam penerapan UU No
15/2003 tentang terorisme pemerintah harus mengambil kebijakan dalam
pemberantasan terorisme dititik beratkan pada dua hal. Pertama, upaya penegakan
hukum secara adil dan transparan. Kedua, upaya counter radikalisme atau program
deradikalisasi.
Sejak tahun 2002,
sedikitnya 500 orang teroris dan kurang lebih 400 di antaranya telah diadili
dan dijatuhi hukuman. Lima Orang di antaranya telah divonis hukuman mati.
Revisi
UU Terorisme
lemahnya Undang-undang
terorisme di Indonesia menyebabkan aksi teror hingga kini belum bisa
diberangus. Aksi terorisme masih saja berlanjut. Pemerintah memang telah menerbitkan
Perpu No 1/2002 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No 15/2003. Namun nyatanya,
penegakan hukumnya masih lemah dan mengalami beberapa hambatan krusial.
Dibutuhkan perbaikan dalam hukum acara pidananya. Salah satu hambatannya adalah
singkatnya masa penangkapan dan masa penahanan.
Terkait hal itu,
beberapa pihak mendesak pemerintah untuk memasukkan dalam draft Undang-undang
anti terorisme adalah kerangka hukum pelaksanaan deradikalisasi terorisme.
Dengan begitu akan terwujud penanganan terorisme yang integratif.
Beberapa catatan kritis
lain yang patut dipertimbangkan pemerintah, adalah penggunaan data intelijen
sebagai alat bukti permulaan. Utamanya mengenai pentingnya teknis verifikasi
data dan tim independen yang terlibat didalamnya. Selain itu, pemerintah juga
perlu mempertimbangkan adanya penambahan masa penangkapan dan penahanan,
politik dalam tindak pidana terorisme, pemberantasan hukuman atas kejahatan
penerbangan dan korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana terorisme.
Program deradikalisasi ini perlu dikuatkan dalam kerangka undang-undang, Berdasarkan
hal tersebut, perlunya undang-undang
pemberantasan terorisme untuk diamandemen.
Pelanggaran
HAM
Implementasi
perundang-undangan Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dalam implemantasinya seringkali melanggar HAM, hal ini dapat kita
lihat, Mereka (Densus 88) seringkali dianggap memiliki prestasi gemilang dalam
memberantas terorisme di Indonesia, tetapi tindakan mereka banyak pula yang
bertentangan dengan hak asasi manusia dan melanggar HAM.
Beberapa pelanggaran
dalam UU Nomor 15 Tahun 2003, diantaranya ketentuan tentang batas waktu
penahanan tersangka teroris, ketentuan penangkapan yang hanya mendasarkan pada
lampiran intelijen, serta adanya potensi multitafsir pada Pasal 13 dan Pasal
22. Oleh sebab itu perlunya pembaharuan dalam UU No 15/2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar