Friday, May 18, 2012

Contoh Tugas Manajemen Konflik



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

Pendahuluan
Teror dan terorisme adalah dua kata yang hampir sejenis yang dalam satu dekade ini menjadi sangat populer, atau tepatnya sejak peristiwa runtuhnya WTC (World Trade Center) tanggal 9 September 2001 yang lalu. Jika kita memasukan kata terorisme pada mesin pencari di internet, maka kita akan mendapati ribuan bahkan jutaan hasilnya, dengan segala latar belakang, pembelaan, tuduhan, perkembangan, dan lain-lainnya
Terorisme merupakan tindak pidana yang sangat menakutkan bagi warga masyarakat dunia maupun masyarakat Indonesia. Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 wajib melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu Negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya dari setiap ancaman
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan kebijakan Legislatif dalam upaya menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia dan juga melawan terorisme internasional yang kemungkinan terjadi di Indonesia.
Sebagai bagian dari fenomena sosial, terorisme jelas berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur perkembangan terorisme. Kemudahan menciptakan ketakutan dengan teknologi tinggi dan liputan media yang luas membuat jaringan dan tindakan teror semakin mudah mencapai tujuan.
Saat ini, motif terorisme lebih sering dikaitkan dengan dimensi moral yang luas seperti nilai, ideologi, agama, ketidakadilan tatanan dan struktur sosial. Namun tidak dipungkiri, bahwa sekarang ini, Islam diidentifikasikan sedemikian rupa sebagai agama yang mengusung terorisme. Perkembangan Islam, baik secara institusi atau pun individualnya, telah mengkhawatirkan dunia internasional sedemikian rupa tanpa alasan yang jelas sama sekali.
Stigma Islam yang melahirkan kekerasan terus dimunculkan setiap hari di berbagai belahan dunia. Hingga umat pun perlahan-lahan mulai percaya bahwa Islam mengusung kekerasan seperti itu, padahal tak sedikitpun agama islam menganjurkan kekerasan. Dalam berperang, Islam telah mengajarkan syarat dan ketentuan seperti tidak sembarangan boleh membunuh, tidak boleh merusak pepohonan, tidak boleh berlebihan, dan sebagainya.
Seperti berita perburuan teroris di Pamulang dan Aceh. Dimana teroris di Aceh sekarang ini telah menjadi perbincangan hangat. Di media massa seperti koran, televisi dan lain-lain memuat berita tersebut. Teroris di Aceh ini diduga kuat adalah jaringan Al Qaeda. Seperti yang di katakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seakan ingin memastikan, keberadaan pemimpin teroris di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bukanlah asli orang Aceh. Presiden juga merasa yakin, apa yang terjadi di Aceh diindikasikan ada unsur terorisnya.
Padahal belum lepas dari ingatan kita, berita terorisme terkait dengan kejadian bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott pada tanggal 17 Juli 2009 yang lalu tidak hanya membuat sibuk pengamat sosial, politik, keamanan dan budaya tetapi juga para insan olahraga karena tim kesayangannya, klub sepakbola kelas dunia MU (Manchester United) gagal ‘merumput’ di Gelora Bung Karno. Sejak kejadian WTC 9 September itu, dunia pun mulai menyatakan perang terhadap teroris, Say No to Teroris. Slogan-slogan tersebut terus dijejalkan pada masyarakat dan tak lama kemudian dimulailah ‘operasi pembersihan’ di negara-negara yang dituduh sebagai ‘pabrik’ teroris, seperti Irak dan Afganistan (yang mana keduanya merupakan negara muslim). Meskipun pada perkembangan selanjutnya, banyak para ahli yang mulai curiga bahwa ada yang salah dalam cerita tragedi kemanusiaan itu namun masih lebih banyak yang tidak mau mencermati sejarah sehingga dengan mudah mereka menggunakan istilah teroris dan mengaitkannya dengan gerakan Islam radikal, militan, fundamentalis, atau garis keras seperti halnya yang digembar-gemborkan pihak Barat.
Lebih jelasnya Kejahatan terorisme juga telah terjadi di Indonesia dan juga telah memakan korban orang yang tidak berdosa baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga negara asing. Aksi peledakan bom bunuh diri pada tanggal 12 Oktober 2002 di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan kurang lebih 184 orang dan ratusan orang lainya luka berat dan ringan dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan lain-lain. Aksi-aksi lain dengan menggunakan bom juga banyak terjadi di Indonesia seperti di Pertokoan Atrium Senen Jakarta, peledakan bom di Gedung Bursa Efek Jakarta, peledakan bom restoran cepat saji Mc Donald Makassar, peledakan bom di Hotel J W Mariot Jakarta, peledakan bom di Kedutaan Besar Filipina dan dekat Kedutaan Besar Australia, serta beberapa kejadian peledakan bom di daerah konflik seperti Poso, Aceh dan Maluku yang kesemuanya itu menimbulkan rasa takut dan tidak tentram bagi masyarakat. Akibat aksi pengeboman tersebut disamping runtuhnya bangunan dan sarananya, juga telah menyebabkan timbulnya rasa takut bagi orang Indonesia maupun orang asing. Dalam kancah internasional menyebabkan turunnya rasa kepercayaan dunia internasional kepada sektor keamanan di Indonesia, menurunnya sektor pariwisata karena adanya pengakuan bahwa di Indonesia memang benar ada teroris.
Pada pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tersirat bahwa pemerintah Repubik Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional maupun internasional dan berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan negara serta memulihkan keutuhan dan integritas nasional dari ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri4. Tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi telah mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, serta telah menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan Negara sehingga perlu dilakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme guna memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Masalah Yang Dihadapi
Peran Pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah menunjukan keberhasilan yang cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme.
Tragedi ledakan bom belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, yang bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Namun pada aplikasinya mereka yang memang memiliki “concern” atau perhatian besar pada isu kebebasan sipil dan hak asasi-manusia, was-was kalau-kalau tindakan Densus 88 dalam menangani isu terorisme itu melanggar HAM dan kebebasan sipil.
Dengan ramainya berita para teroris yang berhasil ditembak dan ditewaskan oleh Densus 88 dan aparat kepolisian, banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa kaum teroris itu mesti dibunuh, bukan kah itu melanggar HAM. Bukankah keputusan mereka sebagai teroris haruslah ditentukan oleh pengadilan, bukankah dia tak bisa disebut sebagai teroris apabila belum ada keputusan dari pengadilan, dan Paling jauh dia hanya bisa disebut sebagai tersangka.
Inilah jadi pokok permasalahan, dimana para teroris di bunuh hal ini juga dapat kita lihat pada peristiwa penyergapan Saifuddin Jaelani, Syahrir, Ibrohim, Nurdin M Top dll, mereka semua tewas ketika di bekuk oleh densus 88 ataupun oleh pihak kepolisian.

Implementasi
Dalam penerapan UU No 15/2003 tentang terorisme pemerintah harus mengambil kebijakan dalam pemberantasan terorisme dititik beratkan pada dua hal. Pertama, upaya penegakan hukum secara adil dan transparan. Kedua, upaya counter radikalisme atau program deradikalisasi.
Sejak tahun 2002, sedikitnya 500 orang teroris dan kurang lebih 400 di antaranya telah diadili dan dijatuhi hukuman. Lima Orang di antaranya telah divonis hukuman mati.
Revisi UU Terorisme
lemahnya Undang-undang terorisme di Indonesia menyebabkan aksi teror hingga kini belum bisa diberangus. Aksi terorisme masih saja berlanjut. Pemerintah memang telah menerbitkan Perpu No 1/2002 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No 15/2003. Namun nyatanya, penegakan hukumnya masih lemah dan mengalami beberapa hambatan krusial. Dibutuhkan perbaikan dalam hukum acara pidananya. Salah satu hambatannya adalah singkatnya masa penangkapan dan masa penahanan.
Terkait hal itu, beberapa pihak mendesak pemerintah untuk memasukkan dalam draft Undang-undang anti terorisme adalah kerangka hukum pelaksanaan deradikalisasi terorisme. Dengan begitu akan terwujud penanganan terorisme yang integratif.
Beberapa catatan kritis lain yang patut dipertimbangkan pemerintah, adalah penggunaan data intelijen sebagai alat bukti permulaan. Utamanya mengenai pentingnya teknis verifikasi data dan tim independen yang terlibat didalamnya. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan adanya penambahan masa penangkapan dan penahanan, politik dalam tindak pidana terorisme, pemberantasan hukuman atas kejahatan penerbangan dan korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana terorisme. Program deradikalisasi ini perlu dikuatkan dalam kerangka undang-undang, Berdasarkan hal tersebut, perlunya undang-undang  pemberantasan terorisme untuk diamandemen.
Pelanggaran HAM
Implementasi perundang-undangan Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam implemantasinya seringkali melanggar HAM, hal ini dapat kita lihat, Mereka (Densus 88) seringkali dianggap memiliki prestasi gemilang dalam memberantas terorisme di Indonesia, tetapi tindakan mereka banyak pula yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan melanggar HAM.
Beberapa pelanggaran dalam UU Nomor 15 Tahun 2003, diantaranya ketentuan tentang batas waktu penahanan tersangka teroris, ketentuan penangkapan yang hanya mendasarkan pada lampiran intelijen, serta adanya potensi multitafsir pada Pasal 13 dan Pasal 22. Oleh sebab itu perlunya pembaharuan dalam UU No 15/2003

No comments: